Akun Twitter @Rudyatmo
Sisa-sisa hujan yang sejak sore mengguyur seantero Kota Solo, masih membekas di dingklik wedangan Kang Brengos. “Tiga bujang penunggu malam” terpaksa harus duduk jongkok dengan sandal dilepas agar dinginnya air hujan tak merembes ke bokong mereka. Bagi Kasan, Dono dan Murdiyo, malam tak boleh berlalu sebelum cakruk di wedangan meski hanya mampu membeli segelas wedang teh jahe.
“Wis follow akun twitter-e Pak Wali durung, Don,” kata Murdiyo ketika melihat sohibnya itu merogoh saku jaket dan membuka blackberry-nya.
“Jelas sudah to ya. Tapi jarang sekali berkicau. Tak mensen nggak dibalas. Sebenarnya apa ya tujuan Pak Wali punya akun twitter. Apa biar tidak dikira ketinggalan jaman ya,” kata Dono.
Akun twitter rasanya sudah menjadi sesuatu yang wajib dimiliki pejabat. Jauh sebelum Walikota Solo FX Hadi Rudyatmo memiliki akun, walikota sebelumnya yang kini menjadi Gubernur DKI Jakarta Jokowi, juga memiliki akun twitter. Berbeda dengan akun @jokowi_do2 yang lebih aktif, akun @rudyatmo terkesan pasif atau ya jarang berkicau seperti kata Dono.
“Sampean ki mbok ngilo gethok-e. Memangnya siapa kok minta di-mensen Pak Wali,” kata Kasan mencibir Dono. “Seleb juga bukan, lagi pula mensen-mu paling-paling ya hanya basa-basi to Don,” sambung Kasan tanpa menunggu reaksi kawannya.
“Katanya mau berinteraksi langsung dengan warganya. Aku kan juga Wong Solo. Mosok nggak boleh berharap di-mensen Pak Wali,” kata Dono membela diri.
“Interaksi ya interaksi, tapi mbokyao mikir dikit, nggo nulis 140 karakter mbalesi kicauanmu apa nggak buang waktu,” kata Murdiyo ikut menyerang Dono.
Kang Brengos mengangkat ceret dan menambahi arang. “Tambah nggak mas teh jahe-nya. Mau tak jok-i ceretnya. Wis gak usah ngurusi twitter-nya orang. Lha sampean niku apa ya mesti mbalas kalau di-mensen,” katanya.
“Kang Brengos saja tahu tuh, nggak harus balas mensen ,” kata Kasan. Galibnya dalam social media, memang sudah sewajarnya ada interaksi antara yang satu dengan yang lain. Namun, tidak jarang interaksi searah yang terjadi di dunia jejaring sosial seperti twitter. Mereka yang menganggap dirinya selebriti lantaran memiliki pengikut bejibun, ogah untuk membalas mensen. Para seleb itu seolah kicauannya lebih penting dan pasti diterima pengikutnya.
“Coba sampean yang keranjingan dengan social media seperti itu twitter, paham nggak mengapa Pak Wali buat akun twitter. Kok rasanya beda niat Pak Wali dengan sampean bermain-main dengan twitter,” kata Kang Brengos.
“Ya jelas to kang. Kita sering berkicau di twitter karena banyak alasan, mulai dari eksistensi, menambah teman, berbagi sesuatu atau untuk mendapatkan informasi yang biasanya langsung dirasakan atau dialami seseorang,” kata Kasan.
“Nah, yang sampean sebut terakhir itu mungkin yang dikehendaki Pak Wali. Ini mungkin lho ya. Namanya saja obrolan tukang gawe wedang, sok uni-unie wae wong ya ra dibayar. Pak Wali mungkin ingin mendengar langsung dari warganya, entah itu keluhan, masukan atau apa saja lah. Dua telinganya dirasa masih kurang, sehingga membutuhkan bantuan telinga lain,” kata Kang Brengos.
“Sampean cerdas gitu kok jualan wedangan ndak pilih jadi konsultan media saja kang,” seloroh Murdiyo. Kang Brengos mendelik dan mlintir kumisnya yang sebenarnya tak selebat kumis Pak Wali.
“Pemimpin itu, seperti Pak Wali, tidak perlu banyak bicara atau ngetwit, apalagi membuat kultwit berseri-seri. Karena bagi pemimpin, omongan adalah titah. Ingat kan ungkapan sabda pandita ratu. Lebih baik sedikit bicara, tetapi banyak kerja. Nah biar bisa kerja sesuai kehendak rakyat, pemimpin butuh banyak telinga daripada mulut,” tambah Kang Brengos yang tiba-tiba terlihat seperti seorang akademisi ketimbang penjual wedang.
“Kan banyak anak buahe, dia bisa minta laporan bawahannya dong. Mestinya, di twitter, Pak Wali bicara biar rakyat paham ke mana arah kepemimpinannya,” sanggah Dono.
“Benar, semua PNS adalah anak buahnya. Tapi yang namanya informasi itu kan semakin panjang mata rantainya, semakin besar distorsinya. Wah sampean itu kan juga pernah kuliah di FISIP to mas,” kata Kang Brengos nggak mau kalah.
Muka Dono memerah. Untuk menutup kegugupannya dia mencomot pisang goreng. Sementara Kasan menjumputi remukan gorengan. “Dalam pandanganku, Pak Wali berusaha untuk mendapatkan informasi, menjemput fakta dari tangan pertama dengan membuat akun twitter. Bukan untuk eksistensi apalagi narsis-narsisan biar dapat gebetan kayak sampean,” kata Kang Brengos seolah tak peduli dengan reaksi ketiga pelanggan setianya itu.
“Jadi menurut sampean, Pak Wali itu memanjangkan telinganya. Terus tahunya kalau informasi yang masuk itu berguna?” tanya Kasan. Kang Brengos tak segera menjawab. Dia menyulut rokok. Tiga kali sedotan baru berujar, “Memangnya aku iki staf ahli walikota po!! ”
“Maksudku, analisamu lik. Kira-kira kalau penemu sampean tadi begitu, kan ya ada pandangan yang lebih jauh. Siapa tahu, Pak Wali yang senang wedangan itu juga pelanggan di sini terus pernah cerita ke sampean. Kan sama-sama punya kumis,” tambah Murdiyo sekenanya.
“Mestinya ya dilihat dari action di lapangan. Coba sampean amati, apakah ada komplain atau keluhan di twitter yang sudah ditindaklanjuti dengan aksi langsung. Mungkin sih belum banyak, karena kan juga belum lama,” kata Kang Brengos.
Kasan membuka galaxytab-nya. Dia pun stalking timeline @rudyatmo. Dilihatnya ada komplain soal kartu keluarga seorang warga di Sumber yang katanya sudah tiga bulan tak jadi-jadi. Diikuti keluhan itu dan kemudian diketahui kalau masalah itu sudah diselesaikan. Tak puas, dia mencari lagi kicauan yang bernada komplain di TL @rudyatmo yang sudah mencapai seribu lebih follower sejak dia membuat akun sebulan silam. Ada komplain mengenai kerusakan jalan di Letjen Suprato Sumber karena pengalihan jalan saat pembangunan Jembatan Komplang direhab. “Jalan Suprapto sudah mulai diperbaiki sejak kemarin,” gumam Kasan.
Asli…. seneng baca tulisan iki,,,, dibikin komik berseri apik ki pakde blontank… judul kang brengos