“Marmut” PNS
Kang Brengos jenggirat dan menghentikan sejenak aktivitasnya di depan gerobak HIK sore itu ketika Mas Dono berseru, “Balaikota kok jadi kandang marmut.” Pikirannya langsung tertuju pada hewan piaran bertelinga panjang yang suka membuat lobang di manapun sebagai tempat tinggalnya. Kang Brengos membayangkan Balaikota yang megah bakal banyak growongan.
“Weih, gek siapa mas yang taruh marmut? Apa ya nggak menganggu pelayanan ya. Bisa bahaya kalau marmutnya banyak,” kata Kang Brengos menanggapi pernyataan pelanggan setianya itu.
“Menganggu ya jelas, berbahaya? Sangat. Apalagi ini bukan sembarang marmut lho kang. Marmutnya nggak enak disate, dijual ke Pasar Depok juga ndak bakalan ada yang menawar,” sahut Kasan, sohib Mas Dono.
Kang Brengos, plonga-plongo mendengarnya. Pikirannya nggak nyandak. Daripada disemprot dua maniak wedangnya karena pesanan tak kunjung kelar, Kang Brengos memilih tak ambil peduli. “Pisang owole dua sekalian ya, mas,” katanya.
“Tumben sampean nggak tertarik ikut ngobrol kang. Kakehan prei ya gitu, nggak update informasi terkini langsung dari sumbernya. Marmut yang dimaksud Dono ki bukan kewan, tapi makelar mutasi. Konon, ada orang yang mengejar jabatan dengan memanfaatkan jasa makelar,” kata Kasan menjelaskan.
“Oalaaah, kalau itu bukannya sudah lama. Dari dulu juga seperti itu ta, saat akan ada mutasi, biasanya ada yang sok merasa memiliki kekuasaan bisa menentukan jabatan seseorang asalkan membayar,” kata Kang Brengos sok tahu.
“Njenengan jangan asal tuduh lho, kang. Lha wong Pak Wali saja berhati-hati kok. Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) juga tidak berani membuka adanya indikasi marmut kecuali bilang bahwa ada SMS yang masuk menanyakan biaya untuk jadi pejabat,” sahut Dono.
Memang aneh, sebagai pejabat yang mengurusi kepegawaian, sekonyong-konyong Kepala BKD Kota Solo bercuap ke media kalau dirinya mendapatkan SMS dari seorang PNS tentang adanya makelar mutasi. Tak jelas, tindakan yang dilakukan sampai kemudian Pak Rudy, si Walikota membuka identitas orang yang bertanya soal “harga kursi pejabat”.
“Tak ada asap jika tak ada api. Orang yang SMS ke Kepala BKD itu pasti sebelumnya sudah punya referensi, ada pengalaman, atau paling tidak ada yang pernah cerita kalau untuk promosi jabatan perlu keluar biaya,. Logikanya kan nggak mungkin dia tiba-tiba SMS tanya seperti itu,” kata Kang Brengos bersemangat.
“Lebih heran lagi, jika tidak segera dicari informasi lebih lanjut. Kan sebenarnya bisa saja si pengirim SMS itu dipanggil, dimintai informasi. Dia bisa lho jadi whistle blower, peniup peliut untuk membongkar praktik jual beli jabatan. Apalagi kan baru sekarang ini Pak Rudy mau mutasi pejabat. Kesempatan untuk memperbaiki birokrasi,” kata Kang Brengos lagi.
Saat Kang Brengos kian berapi-api, Kasan Dan Dono nyekikik. Keduanya paling senang memancing opini penjual wedang yang sudah seperti sahabatnya. Pikirannya sering orisinil. “Sampean ki isih wae duwe pangarep-arep birokrasi kita mau bersusah-susah seperti itu ta, kang,” kata Dono.
“Coba njenengan bayangkan, jika si pengirim SMS itu ditimbali, dijaluk blak-kotang, dijamin kerahasiaan untuk cerita, dari mana dia bisa punya ide menanyakan biaya promosi agar dapat jabatan, apa dia terpengaruh cerita koleganya dan lain-lain karena saya yakin mas, tidak mungkin tidak ada asap tanpa api,” tambah Kang Brengos seperti mengabaikan pertanyaan Dono.
“Heran, belum diinvestigasi sudah dilempar ke publik lewat media, habis itu diserahkan begitu saja ke Pak Wali. Meski sudah tahu nama pengirimnya, saya yakin dengan mudah berkilah kalau hendak diusut. Mungkin malah nomornya sudah dibuang ke Bengawan Solo,” Kang Brengos masih melanjutkan.
“Tapi ya mbuh lah, mereka yang menjadi pejabat itu kan orang winasis. Saya kan hanya orang kecil, dadi Jayeng tukang buat wedang saja nggak kepakai di kampung sendiri. Mungkin saja semua sudah dilakukan dan ada pertimbangan lain sehingga tidak dimunculkan,” kata Kang Brengos mengakhiri orasinya.
Recent Comments