Residentaal
Pemerintah Kota Solo terus membangun kawasan-kawasan pedestrian. Tak cukup dengan citywalk yang membentang di Jalan Slamet Riyadi, Jalan Kapten Mulyadi, Kawasan Ngarsopuro dan Kawasan Jendral Sudirman, kini bersiap menjadikan Kepatihan sebagai kawasan pedestrian baru.
Kang Brengos yang sedang leyeh-leyeh di dingklik dekat gerobak HIK-nya, ketika Kassan dengan motor merah datang bersama cewek bule. Pemandangan ini tak jamak bagi Kang Brengos. Seumur-umur dia kenal anak muda yang hobi melek ini, tak pernah ke wedangannya dengan perempuan.
“Kang, gawekne wedang ramuanmu sing paling josss ya. Temanku mau ngicipi yang khas di sini,” kata Kassan seusai melepas helm dan menaruh di atas gerobak.
Kang Brengos tak langsung melayani. Matanya malah menthelengi si bule yang hanya mengenakan singlet dan celana batik weton Klewer. “Nemu di mana San. Gek caramu ngomong piye San. Eeeeh iso cara Jawa apa cara landha,” tanya Kang Brengos.
“Halaah, sampean ki ndang cepet malah banyak tanya. Waktuku nggak banyak nih,” kata Kassan tanpa memberikan jawaban yang bisa mengurangi nggumun-nya Kang Brengos.
Kang Brengos hanya bisa nuruti pelanggan setianya ini. Tapi sembari nyeduh wedang jahe rempah, matanya tetap aja plirak-plirik. Kupingnya dijembar-jembarke biar bisa mendengar suara percakapan keduanya. “Where’s Residentaal,” kata si Bule.
Kassann yang tadinya cas-cis cerita tentang Solo langsung mingkem. Dia seperti orang bingung. Kang Brengos mesem melihat tingkah Kassan. Sembari menyuguhkan dua cangkir jahe rempah, Kang Brengos bilang. “Mbak-e takon apa San kok kowe kaya kethek ditulup,” katanya.
“Kang apa sampean pernah dengar jalan yang namanya Residentaal? Di mana ya kang. Kalau nama kampung saya masih bisa kasih tahu. Kalau nama jalan, hampir seragam di kota manapun ya itu-itu semua namanya,” Tanya Kasang.
“Residentaal itu nama lawasnya Jalan Jendral Sudirman San. Seperti Jalan Slamet Riyadi itu dulunya Purwosari Weg. Di situ kan ada bekas kantor residen, makanya wong tuwa-tuwa masih nyebut residenan. Para sejarawan menyebut Residentaal itu adalah symbol ruang kekuasaan formal,” katanya.
Kassan mlongo. Si cewek bule berpaling memandangi Kang Brengos yang ikut kebingungan untuk menjelaskan karena tak bisa cara Landha. “Cerita kang soal Residentaal yang sama Pak Wali sekarang ditata jadi Koridor Jendsud. Temanku ini mau napak tilas cerita lawas tentang kota yang pernah diduduki mbah buyute,” kata Kasan.
“Residentaal atau Jalan Jensud itu mungkin jalan terpendek di Solo, San. Tapi jangan pernah mengabaikan sejarah yang tersimpan di sana. Sejak dari depan Gapura Gladak sampai Tugu Pamandengan, bahkan yen diteruske sampai Jalan Arifin tambah banyak,” kata Kang Brengos.
“Soal Gapura Gladag sampean wis ngerti fungsinya dulu to. Di ujung sebelah kiri ada bangunan gereja. Itu gereja lawas tenan wong mbangunne tahun 1830an. Terus ada kantor pos. Itu sebenarnya bangunan agak muda karena dibangun setelah kamardikan, pindahan dari sebelah Kantor Telkom. Sebelum dibangun sebagai kantor pos, ada hotel namanya Hotel Slier. Ada juga Hotel Merdeka,” kata Kang Brengos.
“ Kalau di seberangnya nggak usah diceritakan ya, bangunannya masih meski wis ra karu-karuan. Benteng Vastenburg. Nah di sebelah kantor pos, setelah jalan yang sekarang jadi Museum Bank Indonesia itu, dulu namanya De Javasche Bank (DJB). Cetho kan bangunan kuna. Lha wong peresmianne ya tahun 1867 kok.
“Ada gedung sandiwara juga lho di sekitar balaikota. Kuwi lho, bekase Bioskop Fajar Teater yang sekarang jadi ruko. Masih banyak lagi. Itu baru keberadaan gedung bersejarah, belum symbol perseteruan Kompeni dan raja banyak lagi ceritanya. Tapi kalau disuruh cerita terus, sampean gak aba panganan, daganganku utuh tekan isuk. Mbakar apa kuwi kancamu,” kata Kang Brengos mengakhiri ceritanya. (***)
Sebuah pelajaran berharga.
Pesan moral dari cerita itu adalah jangan pernah meremehkan jalan yang pendek. (?)
pesene kabeh kito kudu biso dadi duta wisata .. ngertio sejarahe kuthomu .. ojo muk pringas pringis karo mlongo thok hehehe