Sejarah Kejayaan Bioskop Lokal di Kota Solo
“…Sebelum kemunculan bioskop dengan gedung permanen, dulu di Solo telah ada yang namanya pertunjukan gambar sorot”.
— Heri Priyatmoko, Sejarawan Solo.
Generasi kasepuhan dan agak sepuh — karena memang sudah tak bisa dibilang muda — di Solo tentu masih segar dalam ingatan bahwa dahulu kala di kota bengawan ini pernah berjaya banyak bioskop lokal. Sejarah tentang bioskop di Solo tak bisa lepas dari awal kemunculan bioskop di dunia pada dekade abad ke-20.
Bioskop sebagai ikon hiburan modern pada masa itu dimulai sekitar tahun 1910. Menurut sejarawan Solo, Heri Priyatmoko, bahwa sebelum kemunculan bioskop dengan gedung permanen, dulu di Solo telah ada yang namanya gambar sorot. Sebuah pertunjukan layar tancap yang berupa film bisu dengan gambar bergerak, agar tidak sepi sunyi ditambahkan iringan suara lain di luar film tersebut.
Lantas munculah bioskop keliling. Pertunjukan film dalam sebuah tenda, dikelilingi oleh hiasan umbul-umbul, lantainya diberi alas seperti tikar atau karpet, sebuah kemewahan pada zamannya. Bioskop keliling ini menggunakan sistem karcis, siapa saja yang ingin menonton film ditarik karcis seharga 10-15 sen. Bioskop keliling ini juga dikenal dengan sebutan Bioskop Pes karena pada masa itu sedang mewabah penyakit pes, sehingga pemerintah kolonial Belanda mengedukasi masyarakat tentang pentingnya kebersihan lewat media film di bioskop.

Bioskop Purbayan tahun 1976 (arsip foto: Krijgsman)
Kemudian masuklah perusahaan listrik NV Solosche Electriciteit Maatschappij (SEM) yang mempunyai andil dalam merebaknya bioskop-bioskop dengan gedung permanen di Kota Solo diantaranya Bioskop Sriwedari, Nieuw Bioscoop di Pasar Pon, dan Schouwburg Poerbajan atau dikenal sebagai Bioskop Purbayan.
Kemunculan gedung bioskop ini semakin menarik minat masyarakat Surakarta dan sekitarnya untuk menikmati hiburan modern. Dikutip dari tulisan Arfani tahun 2008, diberitakan oleh Residen Surakarta, F.P Sollewijn Gelpke bahwa priyayi-priyayi dari Sragen, Klaten, dan Wonogiri melihat film bioskop yang dibintangi Charlie Chaplin, Rudolf Valentino, Herald Loyd, dan Gloria Swanson.

Bioskop Pasar Pon tahun 1936 (arsip foto: Jongbloed)
Lantas pada tahun 1980-an semakin merebak bioskop di Solo. Bioskop Star di Widuran, Dhady Theatre dan Ura Patria (UP) Theatre di Pasar Pon, Galaxy Theatre di jalan Perintis Kemerdekaan Purwosari, Solo Theatre di Sriwedari, Nusukan Theatre di Nusukan, Regent Theatre di Jalan Veteran, Golden Theatre di Wingko, Bioskop Trisakti, President Theatre, dan Rama Theatre di Panggung Jebres, serta Bioskop Kartika di Beteng.

Penampakan Dhady Theatre
Cara pemasaran bioskop-bioskop di Solo kala itu adalah dengan memasang jadwal main film pada titik-titik strategis di Solo dan lewat mobil keliling dengan menggunakan pengeras suara.
Pada tahun 1990-an muncul gedung bioskop modern yang mewah dan lengkap fasilitas penunjangnya yakni Atrium 21 di Solobaru. Namun sayangnya pada kerusuhan Mei 1998, Atrium 21 dan Bioskop Singosaren ludes dibakar massa.
Setelahnya, bioskop-bioskop lokal di Solo mulai meredup seiring dengan makin merebaknya alternatif hiburan dari televisi nasional dan swasta, serta kemunculan kepingan VCD yang menunjang meningkatnya pembajakan film. Selain itu juga karena distribusi film-film baru yang telah dikuasai oleh jaringan bioskop nasional, maka bioskop lokal semakin terpinggirkan. Untuk mendapatkan film terbaru, bioskop lokal harus menunggu 2-6 bulan lamanya. Padahal, setelah 2-6 bulan, versi bajakannya sudah muncul dalam bentuk VCD.
Sekarang ini, bioskop lokal di Solo telah kukut. Peninggalan gedungnya pun telah berubah fungsi. Pertunjukan bioskop sekarang telah melekat pada gedung mall-mall yang berdiri menjulang di kota bengawan. Setidaknya, biarlah tulisan sederhana ini berusaha menceritakan kembali masa-masa kejayaan bioskop di Solo meskipun peninggalannya sudah sulit untuk ditemukan.
Recent Comments